Bandar Lampung, 7 Juni 2020
Dalam beberapa hari ini kami, Pengurus MASKI (Masyarakat Ahli Survei Kadaster Indonesia) diminta turut serta memberikan masukan dalam rangka perbaikan/ revisi Peraturan Menteri Agraria/ Kepala BPN tentang Surveyor Berlisensi. Oleh sebab itu saya mencoba mempelajari bagaimana sebenarnya Petugas Ukur Non Pemerintah ini awalnya ada di Indonesia. Banyak narasumber yang mestinya bisa dijadikan sumber informasi tentang hal ini, salah satunya Pak Rizal Anshari, beliau adalah mantan Sekretaris Utama Badan Pertanahan Nasional Indonesia alumni Jurusan Teknik Geodesi ITB. Saya terakhir jumpa dengan Pak Anshari di Masjid BPN Jl. Sisingamangaraja sesaat ba,da shalat Dhuhur di masa akhir jabatan beliau di BPN. Saya menangkap kesan yang kuat bahwa beliau adalah orang yang religius dan rendah hati. Berikut saya sampaikan tulisan beliau tentang Petugas Ukur Non Pemerintah ini berawal.

‘Dalam dunia Kadaster dikenal adanya Pihak Non Pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pengukuran kadastral. Pemikiran pengangkatan timbul di BPN pada awal tahun 1992, ketika Tim dari Bank Dunia yang menawarkan bantuan biaya pensertipikatan masal di Indonesia saat Kepala BPN nya Alm. Pak Soni Harsono, Deputi ( sekarang Dirjen) pendaftaran tanah. Waktu itu Geodet pendaftaran tanah di Deputi (sekarang Dirjen) tingkat eselon 3, 2 dan 1 hanya kami bertiga yaitu saya , Pak Topo Hartono yang juga mau pensiun, di pusat ada alm. Djoko Walijatun namun beliau di Puslitbang. Saya sebagai Direktur Pengukuran yang menggantikan alm.Pak Tranggono diminta menjajaki pelaksanaan sertipikasi masal . Saya ditugaskan berangkat ke Thailand untuk melihat proyek sertipikasi masal yang juga mendapat bantuan Bank Dunia. Thailand sudah memulai sertipikasi masal tahun 1984’.
‘Sekembalinya dari Thailand , timbul pemikiran untuk melaksanakan pendaftaran tanah seperti di Thailand sehingga harus ada Perubahan Peraturan tentang Pendaftaran Tanah. Sejak itu dimulai penggarapan perubahan PP No. 10 tahun 1961 dan Perubahan Peraturan Menteri tentang pengukuran dan pemetaan. Singkat cerita tahun 1997 diterbikan PP 24 tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria No 3 Tahun 1997. Dalam PP 24 diperkenalkan istilah Pendaftaran Tanah Sistematik. Dengan adanya kemajuan teknogi GPS dimungkinkan adanya satu sistem koordinat nasional untuk peta pendaftaran tanah. Dalam ketentuan baru sistem proyeksi yang digunakan adalah Sistem Proyeksi TM 3 sebagai pengganti Sistem Polyeder. Melalui diskusi panjang dengan Tim ITB dipimpin oleh alm.Pak Umarjono dan Tim Australia Chris Grant mantan Surveyor General Australia Barat dan Chris Lunnay mantan Surveyor General South Australia diputuskan penggunaan TM 3. Waktu itu ada 3 Pilihan UTM; TM 3 dan TM 2. Dalam ketentuan baru itu diperbolehkan pihak non pemerintah untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pembuatan peta pendaftaran , karena surveyor yang ada di BPN tidak mencukupi untuk pelaksanaan sertipikasi massal. Begitu juga diputuskan BPN harus membuat kerangka dasar kadastral nasional sendiri dengan menggunakan teknologi GPS mengingat kerapatan titik GPS yang dibuat Bakosurtanal tidak memadai untuk kebutuhan BPN’.
‘Dengan bantuan Pak Hasanuddin ( sekarang ka.BIG) dan Andrew Jones surveyor dari Adelaide dimulai perencanaan dan pengukuran titik titik GPS orde 2 untuk seluruh Indonesia. Dalam ketentuan baru pendaftaran tanah diharuskan tiap bidang tanah mempunyai parcel identifier yang dikenal dengan nama Nomor Identifikasi Bidang Tanah (NIB) yang terdiri dari 13 digit, 8 digit pertama adalah Kode Provinsi, Kabupaten, Kecamatan dan Kelurahan, 5 digit terakhir adalah nomor urut bidang tanah. Dalam PMNA/ BPN No. 3 Tahun 1997 hanya diatur untuk pendaftaran yang satuan pendaftarannya kelurahan yaitu HM, HGB dan HP, sedangkan untuk Hak Pengelolaan dan Hak Guna Usaha yang satuan pendaftaran tanahnya Kabupaten belum diatur. Karena dimungkinkannya pihak non pemerintah, maka timbul pemikiran agar Surveyor mempunyai kualifikasi tertentu agar kualitas peta pendaftaran sesuai yang diinginkan. Oleh karena itu rencana semula surveyor yang melakukan pengukuran kadaster harus lulus D 2 pengukuran. Karena keterbasan waktu persyaratan diturunkan menjadi satu. Rencana BPN pada waktu itu pengukuran bidang tanah semua diserahkan pihak ketiga, BPN hanya sebagai pengawas saja . Persyaratannya cukup lulus D1. Sayangnya rencana ini tidak berjalan. Motivasi masuk D1 sekarang ini agar bisa jadi PNS BPN. Pada waktu itu timbul pemikiran agar BPN mengeluarkan lisensi untuk untuk surveyor kadastral dengan 2 macam kualifikasi yaitu Ahli ukur berlisensi dan juru ukur terdaftar. Ahli Ukur berlisensi minimal S 1 surveying dan juru ukur terdaftar minimal D 1 pengukuran. Sekian dulu nanti disambung’.